Mbah Sodriyo; Hindu terakhir di Kumadang ?

Posted: 27 April 2017 in My Life
Tag:, , ,


Oleh : Ida Bagus Wika Krishna

Mbah Sodriyo merupakan salah satu dari dua penyungsung yang tersisa di pura Gadung Melati, Kumadang, Baron, Gunung Kidul, Yogyakarta. Pura yang berada pada wilayah paling selatan Gunung Kidul. Purnama Kedasa dalam ingatan beberapa tokoh sepuh merupakan piodalan dari pura yang diyakini sebagai Stana Nyai Gadung Melati. Salah satu pengikut Prabu Brawijaya V, yang melakukan Dharmayatra di pulau jawa (di yakini akhirnya beliau murca di Pantai Ngobaran). Dalam perjalanan, Nyai Gadung Melati memutuskan untuk menetap di Kumadang, Baron. Di puncak salah satu perbukitan tandus itulah berdiri pura yang bernama pura Gadung Melati, bangunan yang sangat sederhana, seluas 212 meter. Terdiri dari Padmasana, tepas pengapit, dan wantilan kecil yang sudah mulai reot.

26 Maret 2013, Pembimas Hindu Yogyakarta bersama seluruh staf bekerjasama dengan PHDI Gunung Kidul, berkomitmen untuk melaksanakan piodalan sederhana. Di gerakkan oleh beberapa umat dari seputaran gunung Kidul. Sesampai rombongan Bimas di pura, tampak 2 orang yang sudah sepuh menyambut kedatangan umat dengan salam ‘Om Swastyastu’ yang terdengar samar. Salah satu sosok renta itu tiada lain adalah Mbah Sodriyo, umurnya mungkin hampir mencapai 80 tahun. Dengan pakaian yang mungkin terasa asing oleh beberapa umat (Celana panjang, pakaian lengan panjang berwarna puitih dengan logo majelis Dzikir di dada dan Peci berwarna Hitam).

Dalam beberapa percakapan beliau berceritra tentang sejarah pura gadung melati yang dibangun sekitar tahun 80an. Jumlah umat saat itu lumayan banyak, mungkin mencapai 30 persen. Bahkan Mbah sodriyo menyatakan bahwa jauh sebelum agama Hindu diakui, ia telah menganut kepercayaan lokal yang disebut ‘agama wedatama’. Bersama seluruh pengikut agama wedatama itulah akhirnya memutuskan bersama-sama untuk di sudhiwadani pada tahun 70an, menjadi pemeluk Hindu Dharma. Hingga akhirnya berhasil mendirikan Pura Gadung Melati pada tahun 80an. Namun seiring waktu, perlahan-lahan generasi umat Hindu di Kumadang baron mulai Habis, permasalahan ekonomi menjadi faktor utama. Beberapa umat mulai pindah agama menjadi agama ‘K’, yang secara agresif mulai menyekolahkan pemuda-pemuda Hindu dan memberikan bantuan ternak kepada orang tuanya. Sedangkan pembinaan dan sentuhan ekonomi dari umat hindu luar sangat minim. Sekitar tahun 2000an, mulailah habis umat berpaling ke agama Lain. Yang tersisa dan bertahan hanyalah Mbah warno dan Mbah Sodriyo. Walaupun hanya berdua, mereka tetap berpegang teguh pada keyakinan leluhur untuk beragama Hindu. Menjaga kebersihan dan sekaligus kesucian Pura, setidaknya setiap Hari beliau masih membakar satu dupa untuk dihaturkan di padmasana.

Keteguhan Mbah Sodriyo untuk tetap bertahan sebagai pengikut Hindu, tentu merupakan keteladanan yang patut diapresiasi. Tidak tergoda dengan hewan ternak dan juga kemapanan ekonomi. Dalam kesendirian, keyakinannya tetap teguh dan setia mengabdi di pura Gadung Melati. Kata terakhir yang mengharukan dari mbah Sodriyo adalah ‘Kalau beberapa orang tua ikut pindah agama karena takut ketika mati tidak ada yg mendoakan, maka saya akan tetap bertahan. Entah saya mendapat Sorga atau neraka, yang terpenting adalah saya membawa keyakinan saya hingga akhir hayat’.

Harapan Mbah Sodriyo di masa senja, hanya berharap agar piodalan-piodalan sederhana tetap dilaksanakan hingga kemudian hari. Bangunkan Lagi Cahaya Dharma yang tengah meredup. Suatu saat jika leluhur dan Hyang Widhi berkehendak, maka yang lupa akan di ingatkan kembali, yang pergi akan datang kembali. Semoga bersinar terus Cahaya Dharma. ‘Sembah sungkem kami dari seluruh Bimas Hindu Yogyakarta, Nyuwun Pangestu Mbah.

Jayalah Hindu..

Tinggalkan komentar